Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di atas perbukitan Wonosalam, membalut kampung adat Segunung dengan nuansa magis yang nyaris tak tergambarkan. Udara sejuk menusuk hidung, sementara aroma kopi yang mulai ranum di batangnya menguar pelan, menyambut datangnya satu lagi musim panen.
Namun bukan hanya panen yang dinanti, warga di lereng Gunung Anjasmoro juga menunggu momen yang lebih dari sekadar memetik hasil kebun. Mereka menanti ritual sakral wiwit kopi dan sedekah bumi, sebagai bentuk syukur pada bumi, leluhur, dan segala berkah yang diberikan alam.
Dan di tengah gegap gempita itu, denting gamelan mulai terdengar—membuka jalan bagi satu pertunjukan yang begitu dinanti, jaranan. Bukan sekadar hiburan, tapi semacam perayaan spiritual, yang menghidupkan kembali denyut tradisi yang telah diwariskan sejak nenek moyang.
Para penari—anak-anak muda desa—berpakaian khas, memanggul kuda kepang anyaman bambu, menari dengan gerakan yang gagah, menghentakkan kaki ke tanah dengan ritme penuh semangat. Setiap langkahnya membawa pesan—tentang keberanian, pengorbanan, dan kesetiaan terhadap nilai-nilai leluhur.
“Wiwit ini bukan cuma soal kopi,” tutur Supi’i, Ketua Kampung Adat Segunung. “Ini juga tentang menjaga warisan. Termasuk jaranan. Ini budaya kita. Sudah ada sejak dulu.”
Ratusan warga berkumpul di pendopo. Usai menonton jaranan, mereka larut dalam prosesi sedekah bumi. Hasil panen—dari kopi, pisang, sampai palawija—disusun rapi dan dihaturkan dalam doa bersama.
Di tengah perubahan zaman yang kian cepat, Kampung Segunung memilih berjalan dengan langkah sendiri—mengakar, kuat, dan tak tergoyahkan. Tradisi bukan sekadar kenangan di buku sejarah, melainkan nadi yang menghidupkan hari-hari mereka. Dan jaranan, dengan segala mistik dan magisnya, menjadi penanda bahwa di tempat ini, roh budaya masih menari.(Foto : Luhur Wijaya)
Komentar untuk post