Oleh Ridwan, Ketua Umum Gema Puan
Hari ini tepat 25 tahun lalu, terjadi peristiwa mencengangkan dalam dunia politik Indonesia. Tragedi itu terjadi pada 27 Juli 1996 silam dan kerap dikenal dengan Peristiwa Kudatuli (kerusuhan dua puluh tujuh Juli).
Puncak kerusuhan terjadi saat pengambilalihan paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat. Kantor yang sebelumnya di pakai Megawati Soekarnoputri kemudian diambil secara paksa oleh massa Soerjadi Soedirdja, Ketua Umum PDI versi kongres medan. Peristiwa berdarah yang terjadi hari Sabtu pagi yang menyebabkan lima orang meninggal dunia serta ratusan lainnya luka-luka
Sebelum peristiwa itu pecah, sayup-sayup udara malam pertengahan bulan Juli 1996, berhembus cukup dingin. Setiap malam itu pula, saya harus taklukkan udara itu untuk bisa sesegera mungkin datang ke Jl Diponegoro 58, Jakarta Pusat, tempat Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Untuk menuju kesana, saya harus berjalan dari kawasan Pondok Labu, yang menjadi tempat kost-kostan. Kebetulan juga, saya sedang kuliah di kampus Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “veteran”.
Malam itu juga saya harus bergerak ke Kandang PDI dengan tujuan ikut terlibat dalam perjuangan Ibu Megawati. Berjuang melawan, merebut dan mempertahankan hak-nya sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrasi Indonesia, yang sah. Atas nama Mahasiswa yang memang sengaja ikut bergabung, saya harus ikut terlibat dalam perjuangan tersebut.
Di Jl Dipenogoro kemudian saya bertemu dengan saudara Firman Tendry yang waktu itu ada di posko mahasiswa. Bung Tendry sebutan yang biasa saya sematkan, merupakan mentor politik bagi saya. Dari beliau-lah saya mengerti tentang nilai-nilai perjuangan Sukarnoisme. Saya mengenal Bung Tendry sebagai Mahasiswa yang sedang kuliah di Universitas Jakarta.
Praktis, setiap hari, posko Mahasiswa dan Kantor PDI tak pernah sepi. Para aktivis-aktivis pro demokrasi selalu berdatangan untuk memberi perlawanan terhadap Orde Baru (Orba) dan memberi semangat kepada Ibu Megawati untuk terus melawan Soeharto. Saya ingat betul bagaimana semangat kawan kawan disana. Beberape kegiatan juga kerap di gelar di dalam Kantor. Bahkan, siapapun bisa memberi orasi perlawanan terhadap Orba waktu itu dengan menggelar beberapa mimbar bebas demokrasi.
Suasana dan interaksi inilah yang kemudian membuat saya banyak belajar tentang sejarah Partai Demokrai Indonesia. Tentang Sukarnoisme, hingga politik penindasan Orba. Tak itu saja, saya juga mengerti akan pentingnya perlawanan rakyat dan mahasiswa. Sebab di dalam posko mahasiswa juga kerap diadakan diskusi. Dari proses dialektika itu, saya kemudian bisa mengenal kawan-kawan mahasiswa lainnya dari beberapa kampus lain.
Selama saya beraktivitas di jl Dipenogoro, isu-isu penyerbuan ke kantor PDI terus mengeras. Dan memang benar, setiap hari saya kerap ditugaskan menunggu posko (tidur di posko). Waktu itu saya tak sendirian, saya bersama Yongky, salah satu Mahasiswa yang kerap berada di Jl Dipenogoro. Yang saya tahu, Yongky merupakan anak dari pengurus partai PDI pro Mega.
Penyerbuan Sabtu Pagi
Masuk pertengahan Juli 1996, isu penyerbuan terus menyeruak. Tepat pada jam 06.00 WIB, 27 Juli 1996 penyerbuan akhirnya terjadi.
Waktu itu saya masih tidur di dalam Posko. Maklum, malam hari saya kerap berdiskusi sampai larut, jadi pagi harinya saya harus dendam untuk pejamkan mata.
Belum lama tertidur, hujan batu-batu sekepal tangan mengagetkanku. Batu-batuan itu masuk ke dalam posko mahasiswa dan kantor PDI. Saya sempat terkaget dan langsung bangkit begitu lemparan-lemparan batu besar dengan kekuatan tenaga mengarah masuk ke dalam. Posko mahasiswa berada di depan pintu samping sebelah kanan pintu gerbang kantor PDIP. Saya melihat suasananya sudah ditutup massa. Massa persis didepan pintu itu.
Kepanikan sempat menjadi saat massa terus melakukan lemparan. Antara panik dan kaget, saya harus bisa mengendalikan diri. Dalam hati, serasa nyawa sudah mau lepas menghadapi serangan-serangan batu yang dilemparkan dengan kekuatan terlatih menghantam siapa saja yang didalam kantor PDI.
Dipintu itu, saya melihat pasukan Brimob mendorong massa dan memaksa mereka masuk dari pintu dimana hal itu justru mengarah ke posko mahasiswa. Lemparan demi lemparan terus silih berganti. Saya melihat para massa yang melempar batu, seluruhnya berseragam merah PDI pro Suryadi. Saya merasa lemparah itu cukup tepat, seperti massa yang sangat terlatih yang memakai seragam PDI pro Suryadi.
Batu-batuan yang terus dilemparkan sempat saya coba lemparkan balik ke mereka. Saat saling lempar terjadi, kita sempat disuruh keluar oleh mereka. Namun saya tak pernah berfikir untuk keluar. Saya lebih memilih tetap di dalam dengan melakukan perlawanan dengan mempertahankan kantor PDI pro Mega.
Setelah serangan terus membabi buta. Akhirnya kita pun keteteran. Saya ingat sekali saya masih didepan halaman berdua dengan kawan saya. Saya terus melakukan perlawanan melempar kembali batu ke luar sasaran massa pendukung Suryadi. Kawan-kawan lain yang ada di dalam kantor meneriaki saya untuk masuk ke dalam, masuk.., masuk.., masuk…,!! Sangat mencekam dan mengerikan, sebab kita kalah jumlah apa lagi mereka di bantu aparat dari Kepolisian dan ABRI (era Orba).
Setelah suasana semakin mencekam. Saya lihat pintu sebelah kanan tepatnya di posko mahasiswa sudah jebol didobrak oleh Brimob dengan pakaian lengkap. Setelah pintu itu terbuka, tanpa berpikir panjang saya langsung masuk kedalam kantor dengan menerobos kawan-kawan PDI Pro Mega lainnya. Saya kemudian lari ke belakang diarea dapur.
Disitu saya melihat ada tempat sampah. Saya pakai tempat sampah itu untuk naik ke atas pagar yang tingginya kira-kira 4 Meter. Tanpa pikir panjang, saya putuskan untuk meloncat ke atas dimana sebagian kawan-kawan sudah ada di atas. Kerena lemparan batu terus mengarah ke kami. Saya putuskan turun ke sebuah rumah besar, yang saat itu dijaga pasukan Marinir pakaian bebas. Mereka kemudian memberi perlindungan dan pengamanan pada kami.
Dari situasi itulah, akhirnya kantor PDI direbut PDI Pro Suryadi dan mereka bernyanyi-nyanyi. Terdengar lantang dari sebelah kantor PDI rumah saya tempat berlindung nyanyian sorak gembira cukup kencang. Mereka terus bernyanyi tanpa henti. Seakan memenangkan segalanya.
Selang 2 jam, saya memilih keluar dari rumah tersebut karena kebetulan saya tidak memakai
seragam PDI Pro Mega dan dengan keberanian tingkat dewa Saya keluar dengan melewati pasukan yang berjaga. Tempat di bawah kolong rel Kereta Api (KA) tempat berkumpulnya massa yang di hadang aparat, saya bertemu kembali dengan mentor saya Bung Tendry.
Pasca itu pecahlah bentrokan massa dengan aparat di Megaria sampai Salemba Raya. Saya langsung pulang ke tempat saudara di Cipinang.
Besoknya saya memilih ke rumah Ibu Megawati di Kebagusan Jagakarsa. Di tempat Ibu Mega, saya sering menginap bersama kawan-kawan lainnya. Disitu saya mulai merasakan kedekatan secara emosional dengan pak Taufik Kiemas dan Ibu Megawati.
Peristiwa 27 Jul, merupakan catatan sejarah bagi saya. Saya seorang Mahasiswa, bukan kader partai dan bukan anak dari kader atau pengurus partai PDI. Karena memang sudah menjadi tekat saya ikut berjuang mempertaruhkan nyawa saya di dalam kantor PDI di Jl Diponegoro 85, dan di sidang-sidang gugatan PDI pro Mega di Pengadilan Negeri Jakarta pusat.
Saya ingat betul, saya sempat Diculik di dalam Pengadilan Jakarta Pusat. Waktu itu saya di giring 8 orang yang mengaku Intelijen. Saya kemudian dibawa ke ruang bawah Pengadilan dengan dipukulin,disiksa sambil di introgasi siapa yang diatas saya. Memang saya di bawah naungan LBHN yang memang direkturnya bang Desmond J Mahesa dan Sekjend nya waktu itu, Bung Adian Napitupulu.
Disitu saya juga mendengar kabar penculikan yang dialami para senior saya yang lain. Laporan itu disampaikan kawan-kawan lain di Kebagusan tempat kediamannya Ibu Megawati. Tak hanya Bung Desmond J Mahesa, Pius, Mas Haryanto Taslam dan teman-teman PRD lainnya juga dilaporkan sudah diculik oleh aparat.
Pasca penculikan itulah saya tidak lagi datang dan berkunjung ke tempat Ibu Megawati. Saya terus di jalan dan terus melakukan demontrasi sampe akhirnya Orba tumbang pada tahun 98. Pun saat pemilu 1999 dimana PDI Perjuangan memenangkan pemilu, saya juga tidak pernah berkunjung ke Kebagusan.
Fakta sesungguhnya ini harus saya ungkapan sebagai bentuk catatan penting sejarah saya di peristiwa 27 Juli 1996. Ini penting untuk perjalanan politik hari ini di mana sejarah tersebut membuat saya harus membangun organisasi. Organisasi yang bertujuan Idiologis.
Saya melihat dalam percarutan politik saat ini, Trah Soekarno harus terus ada dan harus memimpin bangsa ini. Saya kemudian memilih membentuk Gema Puan Maharani Nusantara (GPMN) dan kemudian saya rubah menjadi Generasi Muda Pejuang Nusantara (Gema Puan) untuk memperjuangkan Puan Maharani menjadi Presiden di Pilpres 2024.
Jakarta 27 Juli 2021
Komentar untuk post