JOMBANGTV – Hujan rintik menyelimuti Balai Desa Sumobito menjelang senja, Minggu (24/08/2025). Seakan Suasana syahdu yang dirindukan itu seolah menjadi sambutan alam atas kesenian tradisonal yang telah lama dirindukan yaitu ludruk. Malam itu panggung sederhana berdiri di depan balai desa menyambut pementasan Ludruk Karya Budaya, kelompok legendaris asal Mojokerto yang telah lama mewarnai jagad kesenian Jawa Timur, termasuk Jombang yang konon disebut sebagai “ibu kota ludruk”. Ditengah dinginnya udara, para penonton berdatangan membawa suasana hangat menyambut dan menyaksikan ludruk “mudik” ke kampung halaman secara budaya.
Pementasan kali ini terasa istimewa karena menjadi bagian dari perjalanan pulang secara budaya. Ludruk Karya Budaya kini digawangi oleh generasi kedua, Nizar Pravianto yang akrab disapa Nizar Edy Karya meneruskan tongkat estafet dari sang ayah, almarhum Pak Edy Karya Budaya, maestro ludruk yang semasa hidupnya dikenal sebagai pejuang seni pertunjukan rakyat. Di bawah kepemimpinan Nizar, kelompok ini tetap setia menjaga ruh ludruk yang otentik, namun juga memberi sentuhan segar agar tetap hidup di tengah zaman yang terus berubah.
Dengan membawakan lakon *Geger Wonoboyo*, pentas malam itu memadukan unsur sejarah, komedi, dan kritik sosial khas ludruk. Cerita yang dibawakan tidak hanya menghibur tetapi juga menyampaikan pesan moral yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Para travesti, pemeran laki-laki yang memerankan tokoh perempuan, tampil sangat apik dan mencuri perhatian penonton. Gerak mereka luwes, suara mereka khas, dan improvisasi dialognya mengundang tawa sekaligus decak kagum. Performa mereka menjadi kekuatan utama yang menghidupkan cerita dan membangun kedekatan emosional dengan penonton.
Pementasan di Balai Desa Sumobito ini menjadi pengingat bahwa ludruk meski nyaris dilupakan di kampung halamannya sendiri, belum sepenuhnya terkubur. Ia memang jarang disapa, nyaris tak diundang, tapi nyalanya belum padam. Malam itu, di bawah langit yang baru saja diguyur hujan, pementasan udruk kali ini benar-benar “mudik”, bukan sekadar tampil, namun menagih janji dari tanah yang dulu membesarkannya. Disambut hangat oleh masyarakat yang masih menyisakan cinta, panggung sederhana itu sebagai bukti, meski hidup segan di tanah kelahirannya, ludruk tetap ada. Dan siapa tahu, dari tepuk tangan yang menggema malam itu, kesenian rakyat ini tak sekadar hadir, Namun, akankah ludruk benar-benar bangkit di tanah kelahirannya?
Foto & Text : Luhur W Wijaya












Komentar untuk post