JOMBANG.TV – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menolak dan meminta agar sejumlah Pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran dicabut. draf Rancangan Undang-undang Penyiaran mulai dari penyusunan maupun substansi yang kini tengah berproses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berpotensi dijadikan alat kekuasaan yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers.
Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan mengatakan, ada Pasal yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Ketentuan tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan.
Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik serta berdasarkan data dan fakta yang benar, dan untuk kepentingan publik, maka penayangan karya tersebut tidak menjadi masalah.
“Pertanyaan besarnya mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalistik investigasi. Secara substansi, Pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di tanah air, ujar Herik melalui siaran persnya, Sabtu (11/5/2024).
Herik khawatir RUU Penyiaran akan dijadikan alat kekuasan dan politik oleh pihak-pihak tertentu untuk mengebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas. Tak hanya pasal pelarangan tayangan investigasi, IJTI juga menyoroti Pasal mengenai penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.
Menurut Herik, Pasal tersebut sangat multitafsir, terlebih yang menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik.
“Upaya ini tentu sebagai suatu ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab. IJTI memandang pasal itu multitafsir dan membingungkan. Ini berpotensi menjadi alat kekuasan untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis atau pers. Kita sepakat bahwa sistem tata negara menggunakan demokrasi, dan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi, ” tegas Henrik.
Herik memandang, Pers memiliki tanggung jawab sebagai kontrol sosial agar proses bernegara berjalan transparan, akuntabel dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik. Penyelesaian sengketa kegiatan jurnalistik harus sesuai Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers.
“Dalam draf itu ada pasal penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI, itu akan berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR.
Henrik Menjelaskan. sesuai dengan UU Pers, komunitas pers mendapat mandat untuk membuat regulasi sendiri dalam rangka mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas melalui self regulation. Setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik baik penyiaran, cetak, digital (online) hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers.
“IJTI meminta DPR mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak termasuk organisasi jurnalis serta publik, dan meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform,” serunya. (jb2/adm)