JOMBANG.TV – Mundjidah Wahab merupakan tokoh penting di Kabupaten Jombang. Pengaruhnya tidak hanya di kalangan perempuan, tetapi juga di kalangan laki-laki.
Popularitas dan pengaruhnya juga mampu merangsek ke berbagai kalangan masyarakat dari berbagai usia, baik lokal, maupun luar daerah.
Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren, Mundjidah bisa menjelma sebagai sosok yang mampu berbaur dengan kalangan non pesantren.
Hal itu ia buktikan dari rentetan kiprah dan pengalamannya sejak masih belia. Sejak usia belasan tahun, Mundjidah telah menunjukkan bakat dan kemampuannya sebagai pemimpin.
Putri Pendiri NU
Mundjidah Wahab lahir di Jombang, pada 22 Mei 1948. Dia merupakan anak bungsu dari KH. Abdul Wahab Chasbullah, seorang ulama besar yang berperan penting pada berdirinya Nahdlatul Ulama (NU).
Selain dikenal sebagai pendiri dan penggerak NU, Kiai Wahab merupakan ulama besar yang diakui Negara sebagai Pahlawan Nasional.
Kiprah dan jasa Kiai Wahab tak hanya dirasakan kalangan NU. Catatan sejarah membuktikan, jika pendiri Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas tersebut juga berjasa besar kepada bangsa Indonesia.
Beragam kiprah dan jasa Kiai Wahab, tercatat sejak sebelum masa kemerdekaan, masa-masa bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan, hingga saat Indonesia mulai membangun negara usai merdeka dari penjajahan.
Memimpin Organisasi Perempuan
Sebagai putri dari ulama pendiri NU sekaligus tokoh yang berpengaruh di Indonesia, Mundjidah telah menunjukkan bakat dan kemampuannya menjadi pemimpin sejak di usia muda.
Dia merupakan sosok perempuan yang kenyang pengalaman, baik dalam bidang politik maupun pada bidang pendidikan, pesantren, hingga sosial kemasyarakatan.
Mundjidah memulai kiprah dan pembelajaran berorganisasi di usia remaja bersama Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). Ia didapuk menjadi Ketua PC IPPNU Kabupaten Jombang periode 1964 – 1968.
Saat menjadi Ketua IPPNU, Mundjidah kala itu masih berusia 16 tahun. Saat itu, Ia masih duduk dibangku Kelas IV Madrasah Muallimat Tambakberas, Kabupaten Jombang.
Setelah menuntaskan tugasnya sebagai Ketua IPPNU, Mundjidah kemudian mulai aktif Fatayat NU. Pada periode 1969-1972 dirinya didapuk menjadi Ketua II PC Fatayat NU Jombang.
Pada tahun 1973 hingga 1978 Mundjidah ditunjuk menjadi Sekretaris PC Muslimat NU Jombang. Lalu pada periode 1978 – 1983, Ia didapuk menjadi Ketua PC Fatayat NU Jombang.
Selanjutnya, Ia menjadi Ketua PC Muslimat NU Kabupaten Jombang, pada periode Tahun 1984-1985, Tahun 1999-2005, serta Tahun 2005-2010.
Kiprah dan pengalaman Mundjidah tak hanya di lingkungan NU. Ia juga pernah menjabat sebagai pengurus organisasi pemberdayaan perempuan di segmen lain, baik di Jombang, maupun Jawa Timur.
Membangun Keluarga
Mundjidah menikah dengan KH. Imam Asy’ari Muhsin pada 22 Juli 1968. Keduanya tidak saling mengenal sebelum pernikahan.
Dikisahkan Mundjidah, Ia justru kenal lebih dulu dengan adik dari Imam Asy’ari. Keduanya saling mengenal, sebab kala itu keduanya sama-sama menjabat sebagai Ketua IPPNU.
Saat itu, Mundjidah menjabat sebagai Ketua IPPNU Kabupaten Jombang, sedangkan adik dari Imam Asyari sebagai Ketua IPPNU Blitar.
Imam Asy’ari sendiri merupakan anak dari Kiai Muhsin, santri kesayangan KH. Hasyim Asy’ari, sekaligus mantan lurah Pondok Pesantren Tebuireng.
Setelah mondok di Tebuireng, Kiai Muhsin pulang ke Blitar, menjadi pengasuh pesantren, serta menjadi sosok penting berdirinya NU di Blitar.
Adapun Imam Asy’ari, sebelum menikah dengan Mundjidah, menghabiskan waktunya dengan belajar di Pondok Pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah.
“Awalnya ya tidak kenal, kami dijodohkan. Pikiran kami waktu itu ya birrul walidain, manut dengan apa yang diminta orang tua. Waktu itu yakin bahwa pilihan orang tua adalah jodoh yang dipilihkan oleh Allah SWT,” ungkap Mundjidah, saat ditemui di kediamannya.
Berangkat dari latar belakang yang sama, Mundjidah dan Imam Asy’ari menjalani hari-hari sebagai suami istri dengan bahagia, hingga dikarunia 6 anak.
Ditinggal Sang Suami
Selama menjalani kehidupan rumah tangga bersama Imam Asy’ari, mengku mendapatkan perlakuan istimewa dari suaminya.
Oleh suaminya, Mundjidah diberi kebebasan untuk menjalankan aktivitas di luar rumah, termasuk berorganisasi. Dalam hal mengurus keluarga, keduanya juga berbagi peran secara adil tanpa mengabaikan kewajiban masing-masing.
Mundjidah menuturkan, berkat keleluasaan yang diberikan suaminya, Ia bisa tetap menjalankan aktivitasnya berorganisasi, serta melanjutkan studi hingga menyelesaikan studi sarjana muda.
Selain itu, suaminya juga mengizinkannya untuk berkiprah dalam dunia politik, dari mulai menjadi anggota DPRD Jombang sejak tahun 1971, pengurus Partai NU, hingga pengurus PPP.
Tak ada angin, tak ada hujan, kabar duka tiba-tiba datang. Imam Asy’ari yang sebelumnya, sehat dan tidak merasakan keluhan kesehatan, wafat pada 31 Agustus 1996 pagi.
Hal itu menjadi pukulan telak bagi Mundjidah. Tanpa ada kata-kata yang keluar, saat mengetahui jika suaminya telah tiada. Hanya cucuran air mata yang deras mengalir.
Namun, ditinggal sang suami tidak menjadikan Mundjidah terlarut dalam kesedihan. Jiwanya kembali tegar. Tekadnya kembali menguat demi masa depan anak-anaknya.
Sepeninggal sang suami, Mundjidah memegang peran ganda, sebagai ibu sekaligus kepala rumah tangga. Dia pun tak terfikir untuk menikah lagi, meski saat itu, usianya masih terbilang cukup.
“Tidak ada pikiran seperti itu (menikah lagi). Waktu itu sudah sibuk ngurusi organisasi, menjadi dewan (DPRD Provinsi Jatim) dan ngurusi anak-anak. Jadi ya gak ada pikiran semacam itu. Alhamdulillah, tetap setia kepada ayahnya anak-anak,” ungkap Mundjidah.
Demi Suara Perempuan
Sebagai putri dari pendiri dan penggerak NU KH. Abdul Wahab Chasbullah, sikap dan karakter kepemimpinan Mundjidah terus terasah sejak muda.
Dari proses interaksi dan pergulatannya dengan masyarakat dari berbagai lapisan, membuatnya berani mengambil keputusan yang menjauhkan dirinya dari kemapanan dan jaminan kesejahteraan.
Dia mengisahkan, pada tahun 1971, dimana saat itu akan berlangsung Pemilu, dia dipanggil oleh pejabat pemerintah dan diminta memilih tetap sebagai guru PNS atau memilih sebagai calon anggota parlemen.
Status guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) diperoleh Mundjidah, sebab saat itu dirinya juga aktif mengajar di beberapa lembaga pendidikan formal di lingkungan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas.
Saat diminta memilih, Mundjidah tanpa keraguan memilih untuk melepaskan statusnya sebagai PNS. Dia pun memantapkan diri terjun ke dunia politik dengan menjadi calon anggota parlemen dari PPP.
“Gak jadi PNS gak apa-apa, toh meskipun gak jadi PNS tetap bisa mengajar. Itu yang terpikir oleh saya waktu itu. Tapi kalau menjadi anggota DPRD Jombang, kita yakini manfaatnya akan lebih banyak.”
“Kalau saya pilih tetap menjadi PNS dan tidak meneruskan maju menjadi dewan, lalu siapa nanti yang akan menyampaikan suara perempuan. Padahal waktu itu sangat sulit menemukan siapa yang mau mewakili perempuan, menyampaikan aspirasi perempuan,” ujar Mundjidah.
Rupanya, pengorbanan Mundjidah melepaskan status dan haknya sebagai PNS, akhirnya berbuah manis. Dia terpilih menjadi anggota DPRD Jombang termuda hasil Pemilu 1971, dimana kala itu usianya baru 21 tahun.
Demi mewakili suara perempuan, Mundjidah terus melanjutkan kiprahnya di dunia politik. Selain sebagai pengurus teras di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dia juga kembali terpilih menjadi anggota DPRD Jombang hingga tahun 1992.
Karir politik Mundjidah terus moncer, dimana pada 1997 dia terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Timur. Sejak saat itu, ibu 6 anak rutin terpilih menjadi anggota legislatif DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2009 – 2014.
Pada periode 2009 – 2014, Mundjidah tidak sampai merampungkan masa tugasnya, sebab pada 2013, Ia terpilih sebagai Wakil Bupati Jombang periode 2013 – 2018.
Kemudian pada Pilkada 2018, Mundjidah yang berpasangan dengan Sumrambah, tampil sebagai pemenang Pilkada. Dia pun akhirnya ditetapkan sebagai Bupati Jombang periode 2018 – 2023.
Pada Pilkada Jombang 2024, Mundjidah kembali maju dan berpasangan dengan Sumrambah. Mengapa berpasangan Sumrambah? Mundjidah pun menjelaskan alasannya.
“Jombang ini memiliki karakter Ijo Abang. Jombang harus dipimpin oleh sosok yang betul-betul karakter ijo abang itu. Jombang itu tidak bisa hanya yang kalangan ijo saja, juga tidak bisa dengan karakter abang saja. Ijo Abang itu filosofis dan menunjukkan bagaimana karakter Jombang, pemimpinnya harus memahami filosofi dan karakter itu,” beber Mundjidah.