JOMBANG.TV — Pagi itu, Jumat (25/7/2025), langit di atas Gedung PKK Kabupaten Jombang tampak teduh. Di halaman, beberapa orang tua menggandeng tangan anak-anaknya.
Sebagian tampak berjalan tertatih, sebagian lagi terduduk di kursi roda, menunggu dengan wajah canggung, tapi matanya penuh kobaran rasa ingin tahu.
Di dalam ruangan, deretan kursi plastik sudah tertata. Meja-meja dipenuhi pita aneka warna, kawat tipis, gunting, dan bunga plastik. Bagi sebagian orang, semua itu barang biasa.
Tapi, di tangan 32 penyandang difabel dari empat kecamatan di Jombang, bahan sederhana itu akan berubah menjadi lambang keyakinan: bahwa hidup selalu memberi ruang bagi siapa pun yang mau mencoba.
Di tengah ruangan, Hj. Yuliati Nugrahani Warsubi, Ketua TP PKK Kabupaten Jombang, berdiri menatap satu demi satu peserta. Ada yang malu-malu menunduk, ada yang meremas jari, gugup. Tapi senyumnya tulus, seperti ingin berkata: kita di sini bersama, kita belajar, dan tidak ada yang tertinggal.
Satu Buket, Seribu Doa
Kegiatan hari itu merupakan bagian dari Program Gelari Pelangi Pokja II, Gerakan Keluarga Indonesia dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan dan Penguatan Ekonomi Keluarga, yang digulirkan sejak Hasil Rakernas PKK IX Tahun 2020.
Sub tema hari itu sederhana, Sosialisasi Pemberdayaan Penyandang Difabel Melalui Keterampilan. Tapi yang diajarkan jauh dari kata sederhana. Para difabel tidak hanya diajari merangkai bunga. Mereka belajar menata percaya diri, memupuk rasa berharga, dan menulis ulang definisi ‘mandiri’.
“Setiap anak difabel punya mimpi yang sama seperti kita. Mereka ingin diterima, ingin diakui. Tapi kadang, mereka tak tahu harus mulai dari mana. Tugas kita di sini mendampingi, bukan mengasihani,” kata Yuliati pelan, di hadapan para ibu Pokja, pengurus PKK, dan para orang tua yang mendampingi.
Tak Ada Batas untuk Belajar
Sri Kusumaningati Saleh, Ketua Pokja II PKK Jombang, berdiri di sisi ruangan, sesekali membetulkan pita di tangan seorang anak. Ia tersenyum kecil setiap kali melihat tawa pelan peserta yang berhasil merangkai bunga pertamanya.
“Difabel ini bukan hanya peserta, tapi guru untuk kita juga. Mereka mengajari sabar, telaten, dan syukur. Bunga yang mereka rangkai hari ini bisa jadi pintu rezeki besok,” ujar Sri.
Di sudut ruangan, Yanti Supradigdo, narasumber dari STIE Dewantara sekaligus anggota Pokja II, dengan sabar membimbing jemari-jemari mungil itu melilit kawat dan pita. Sesekali ia menepuk pundak peserta yang kesulitan, membisikkan kata-kata penyemangat.
Mimpi yang Dirangkai Pelan
Jumlah peserta memang tak banyak: 15 dari Kecamatan Jombang, 8 dari Diwek, 5 dari Peterongan, dan 4 dari Megaluh. Tapi mimpi mereka besar.
Setelah pelatihan ini, diharapkan setiap peserta mampu membawa pulang keahlian yang bisa dirawat di rumah, menghasilkan karya, lalu dijual, entah di toko bunga kecil, di koperasi PKK, atau di pasar daring.
Semua biaya kegiatan ini murni dari APBD Kabupaten Jombang Tahun 2025, bentuk nyata perhatian pemerintah pada kelompok rentan yang kerap luput dari panggung besar.
Di balik tawa-tawa kecil itu, tersimpan beban cerita. Ada yang sejak lahir harus berjuang berjalan. Ada yang tak bisa berbicara lancar, tapi tangannya gesit merangkai. Bagi mereka, buket bunga hari itu bukan sekadar hiasan. Tapi bukti, “Aku juga bisa.”
Bukan Sekadar Bunga
Menjelang siang, satu per satu peserta maju ke depan. Di tangan mereka, buket warna-warni sederhana, sedikit kaku, tapi punya makna lebih mahal daripada hiasan mewah di etalase toko.
Yuliati membungkuk, meraih tangan seorang anak difabel yang malu-malu menyerahkan bunga rangkaiannya. Ia menatap si anak dan berkata lirih, “Ini bukan cuma bunga. Ini doa. Jaga baik-baik semangatmu.”
Di barisan belakang, banyak pasang mata menatap dengan mata berkaca. Mungkin baru kali ini mereka melihat anaknya berdiri percaya diri, memegang karyanya sendiri, bukan hasil belas kasihan, tapi hasil belajar.
Setitik Cahaya, Seribu Langkah
Gelari Pelangi tak berhenti di ruangan itu. Kelak, Pokja II akan mendampingi mereka memasarkan karya. Buket-buket buatan tangan kecil ini akan dipajang di Toko PKK, dijual di bazar, atau diantar ke pesta pernikahan. Sedikit demi sedikit, mimpi dirangkai. Sama seperti bunga, mekar pelan-pelan.
“Saya selalu bilang pada diri saya, keterbatasan fisik itu nyata. Tapi keterbatasan hati dan mimpi, kita sendiri yang bikin,” tutur Yuliati di akhir acara.
Ia memandang para peserta satu per satu. Ada harap di matanya, bahwa suatu hari nanti, buket sederhana ini akan tumbuh jadi usaha kecil, lalu menjadi gerbang mandiri.
Di halaman Gedung PKK, saat semua peserta pulang dengan senyum. Bunga plastik yang baru mereka rangkai itu mungkin tak akan layu. Tapi semoga semangat dan percaya diri di baliknya pun tak pernah layu, selamanya mekar di hati mereka.(Fit)
Komentar untuk post