Jakarta; Aktivis 98, sekaligus Ketua Umum Gema Puan, Ridwan, menyebut, sosok Ketua DPR RI, Puan Maharani, mempunyai peran sangat kompleks bagi keberlangsungan bernegara di Indonesia. Sebagai putri dari Presiden Ke 5 Republik Indonesia (RI), Megawati Seokarnoputri, Puan dinilai tak sekedar layak sebagai Presiden saja, melainkan juga sebagai sosok penjaga Idiologi Negara.
“Mba Puan tak hanya soal Presiden 2024. Atau lebih tepatnya bukan sekedar soal Presiden saja, tapi bagaimana Mba Puan melanjutkan estafet kepemimpinan merawat dan menjaga Pancasila itu lebih baik lagi,” ujar Ridwan, pada Jombang.tv, Sabtu (17/06/21).
Dikatakan Ridwan, kompleksitas yang dimiliki seorang Puan Maharani, menjadi alasan utama organisasi Gema Puan harus dibentuk sekitar Juni 2020 lalu. Lebih dari itu, adanya pengikisan soal persatuan rakyat imbas dari dinamika politik pasca pilpres 2014 dan 2019, menjadi tekad bulat ia harus mendorong sang cucu Presiden Soekarno, melanjutkan tongkat estafet cita-cita para pendiri bangsa.
“Pasca reformasi 98, selama 20 tahun, saya memilih membangun usaha dan berbisnis untuk keberlangsungan keluarga. Saya tidak ikut campur dalam politik kekuasaan. Kita tahu sama tahu, apa yang terjadi saat ini, hanya untuk kepentingan segelintir kelompok saja. Tapi, untuk tahun 2024 ini pilpres sangat menentukan keberlangsungan bangsa dan Negara. Jadi saya harus turun gelanggang,” katanya.
Dukungannya terhadap Puan Maharani, Sambung Ridwan, tidak akan berhenti sebatas kata-kata. Konsep kerakyatan untuk meyakinkan masyarakat dalam mendukung Puan Maharani menjadi Presiden, seluruhnya sudah dipersiapkan secara matang.
Kata dia, diluar PDI Perjuangan, mulai kepengerusan DPP Gema Puan yang saat ini sudah sampai di tingkat kecamatan, serta basis massa Gema Puan di seluruh pelosok daerah. Akan bisa dijadikan modal awal Puan melenggang.
“Ini sebabnya kenapa Mbak Puan cukup disukai. Karena memang Mbak Puan milik seluruh rakyat Indonesia. Rakyat yang masih mencintai Pancasila sebagai pondasi pemersatu bangsa dan negara Republik Indonesia. Bukan hanya pencitraan yang ditampilkan dalam postingan media sosial (medsos). Tapi, dukungan tidak nyata,” pungkas mantan aktivis 98 yang juga pernah menjadi saksi peristiwa 27 Juli ini.