JOMBANG.TV – Malam itu, Kamis (26/06/2025), langit Ponorogo berpendar cahaya lampu hias. Angin membawa bunyi gamelan membelah kerumunan yang memadati alun-alun.
Di tengah semarak penutupan Festival Reog Nasional sekaligus puncak perayaan Grebeg Suro 1 Muharram 1447 Hijriah, hadir sepasang tamu kehormatan dari Kabupaten Jombang, Bupati Warsubi dan Ketua TP PKK, Yuliati Nugrahani.
Sebelum berbaur dengan gegap gempita festival, Abah Warsubi bersama Ibu Yuliati terlebih dulu singgah di kediaman pribadi Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko.
Sambutan hangat langsung menyambut di teras rumah: pelukan erat, tepukan di punggung, dan tawa kecil—layaknya dua sahabat lama yang akhirnya melepas rindu
setelah sekian waktu terpisah kesibukan.
“Jombang itu Ijo dan Abang. Bagaimana cara menyatukan Jombang? Pak Bupati ini jagonya,” kata Sugiri pada Warsubi disambut senyum dan gelak tawa semua yang mendengarnya.
Sugiri mengenal sahabatnya itu dengan baik. Baginya, jika semua kalangan disatukan. Baik kalangan ijo maupun kalangan abang disatukan maka akan sukses luar biasa.
“Pak Bupati ini luar biasa karena bisa menyatukan berbagai kalangan menjadi satu. Jika kalangan ijo dan abang dikolaborasikan maka akan menjadi Jombang yang sukses luar biasa,” katanya.
Tak butuh waktu lama, selepas berbincang hangat, Warsubi bersama rombongan tamu kehormatan berjalan kaki beriringan menuju alun-alun Ponorogo.
Di sepanjang jalan, warga berbaris menyambut, menatap kagum keakraban dua pemimpin daerah yang dikenal selalu saling mendukung satu sama lain.
Sementara itu, langkah kaki rombongan berhenti di deretan tempat duduk yang di depannya merupakan panggung megah yang berhias ornamen klasik Jawa. Dentuman kendang dan sorak penonton menandai penampilan Reog Ponorogo remaja akan segera dimulai.
Di antara barisan penari berkepala singa raksasa, gerak gemulai penata tari muda memukau siapa pun yang memandang.
Seekor Singo Barong, kepala harimau raksasa berhias bulu merak menjulang, muncul gagah di tengah panggung. Penarinya, seorang pemuda dengan ikat kepala merah, memikul topeng raksasa seberat puluhan kilogram di pundaknya. Setiap hentakan kakinya menimbulkan getaran, seolah panggung turut berguncang.
Di belakangnya, barisan Jathilan menari lincah, memainkan kuda kepang sambil menggertakkan gigi dan sesekali memamerkan senyum manisnya.
Konon, cerita ini berawal dari Raja Klono Sewandono, penguasa Bantarangin yang jatuh hati pada Dewi Songgo Langit, putri Kerajaan Kediri. Untuk meminang sang putri, Klono tak datang sendirian. Ia membawa pasukan berkuda yaitu para penari jathilan, dan seekor Singa Barong yang kepalanya dihiasi mahkota bulu merak.
Di balik gemerlap dadak merak, terselip simbol-simbol protes. Kepala harimau di bawah merak konon menjadi sindiran halus dimana seorang raja yang tampak gagah, sejatinya dikendalikan oleh sang permaisuri.
Lakon ini diyakini lahir di masa Majapahit berkuasa, saat rakyat Ponorogo menyalurkan suara protes dengan cara paling halus dengan menari dan menabuh gamelan.
Lalu ada pula Bujang Ganong, patih muda nan lincah yang menjadi bumbu hidup setiap pentas Reog. Geraknya kocak, jenakanya memecah tegang, tapi jangan salah, di balik topeng jenaka Ganong tersimpan filosofi kecerdikan rakyat kecil. Ia simbol siasat wong cilik yang tak gentar menantang kuasa.
Di setiap derap langkah Reog Ponorogo, terpahat jejak sejarah yang jauh melampaui dentum kendang dan kibasan bulu merak.
Malam kian larut, tapi ribuan pasang mata tetap bertahan demi merayakan tradisi yang tak pernah lekang oleh waktu.
Turut hadir di barisan kehormatan, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, yang tampak sesekali berbincang hangat dengan Abah Warsubi.
Malam itu, tak hanya jadi saksi kebersamaan lintas daerah, tetapi juga pengingat bagaimana budaya mampu merajut persahabatan dan silaturahmi para pemimpin.
Didaulat Memberikan Penghargaan Festival Reog Nasional
Menjelang puncak acara, Warsubi melangkah ke panggung, didaulat menyerahkan hadiah kepada penata tari terbaik dari grup Reog Gajah Menggolo SMA Negeri 1 Ponorogo.
Tepuk tangan membahana ketika Warsubi, dengan senyum khasnya, menyalami para penari muda. Sebuah simbol bahwa regenerasi budaya tetap dijaga, sekaligus jembatan penghubung Jombang–Ponorogo yang kian erat oleh warisan seni.
“Reog Ponorogo bukan sekadar tontonan, tetapi warisan budaya yang menyatukan semangat, keberanian, dan kearifan leluhur. Kita di Jombang patut belajar menjaga warisan ini, agar generasi muda tetap bangga dengan akar budayanya,” ujar Warsubi.
Ia juga mengapresiasi festival Reog tingkat nasional yang terus digelar setiap tahun dan berhasil menarik minat berbagai kalangan dari seluruh Indonesia ini.
Budaya Reog Ponorogo ini, kata Warsubi, telah resmi menjadi Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Menjadi salah satu warisan seni yang luar biasa, yang tidak hanya menjadi milik Ponorogo tapi juga kebanggaan bangsa.
Malam di Ponorogo usai dengan rasa hangat. Persahabatan Warsubi dan Bupati Ponorogo, diikat Reog, dipayungi Grebeg Suro, dan diabadikan dalam langkah kaki menuju alun-alun.
Sebuah kisah yang barangkali sederhana, namun sarat makna tentang sahabat, budaya, dan ikatan yang tak mudah putus oleh jarak dan waktu. (Fit)
Komentar untuk post