Oleh : Ana abdillah
Lembaga Hukum yang tidak memiliki keberpihakan terhadap kelompok rentan memang sangat efektif untuk membangun stigmatisasi terhadap perempuan. Terlebih pada kasus kejahatan struktural seperti kasus kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan berbasis pesantren.
Polanya tidak hanya melalui upaya mendoxing dengan menyebar wajah para korban dan saksi di sosial media saja, namun juga mematikan nalar simpatisan dengan narasi merusak citra baik insitusi serta gagap memahami substansi hukum dalam merespon problem kemanusiaan dan kejahatan kekuasaan.
Kini pola itu disituasikan dengan upaya menjatuhkan psikologis korban melalui opini bahkan judul-judul pemberitaan yang menyudutkan korban, baik sebelum maupun setiap selesai persidangan, hal ini diperkuat oleh narasi jurnalis yang tidak berperspektif gender.
Kaitannya dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Ploso Jombang, opini yang dibangun gerakan Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual bukan soal “peradilan opini” seperti yang diopinikan oleh Penasihat Hukum Terdakwa yang dengan lantang mengadili perempuan, bahkan menghardik tanpa dasar melalui tulisan-tulisannya.
Akan tetapi, opini aliansi adalah bentuk respon terhadap perilaku diskriminatif dalam upaya penegakan hukum agar tidak memandang latar belakang maupun status sosial pelaku, juga mengawal jangan sampai ada upaya reviktimisasi korban dan mengkriminalisasi para saksi.
Faktanya sejak bertatus sebagai tersangka, pelaku tidak kooperatif memenuhi panggilan kepolisian bahkan terus menampilkan sikap arogan yang menantang APH, memasang flayer gelaran konser saat berstatus DPO.
Bahkan saat proses penangkapan paksa polisi harus melalui jalan terjal hingga menjadi perhatian Nasional bahkan diantara simpatisan terdakwa ditetapkan sebagai tersangka karena menghalang-halangi proses hukum.
Opini dukungan publik terhadap korban yang begitu masif merupakan konsekuensi logis dari sikap terdakwa yang tidak menghormati proses hukum sehingga hal tersebut patut dan layak jadi pertimbangan hakim untuk memperberat hukuman terdakwa.
Menganalogikan kasus Kekerasan seksual yang terjadi di Ploso Jombang dengan pembunuhan Brigadir J, dimana narasi pihak korban harus melawan narasi yang dibangun FS cs , merupakan analogi yang tidak Apple to apple. Dari sini Penasihat hukum terdakwa MSAT dan Penasihat Hukum istri FS tidak paham bahwa salah satu konstruksi kekerasan seksual adalah relasi kuasa.
Dalam kasus pembunuhan Brigadir J, korban dalam relasi rendah, apalagi si Bos FS begitu garang, sehingga tidak susah percaya fakta yang sebenarnya. Sementara korban dan para saksi dalam kasus Ploso Jombang juga ada dalam relasi rendah yang membuat korban harus dikeluarkan dari insitusi pendidikan yang gagap membangun mekanisme layanan untuk melindungi korban.
Dalam kasus ini pelapor adalah satu-satunya korban yang berani membuat laporan atas peristiwa kekerasan seksual yang dialami, apakah korbannya hanya satu ? Tidak. Diantara 4 korban MSAT yang lain telah dilindungi LPSK untuk memberikan kesaksian atas kasus yang dialami oleh korban yang menjadi pelapor.
Opini bahwa banyak korban yang takut memberi keterangan adalah benar adanya karena diantara mereka menghadapi sistem yang toxic dan menyalahkan perempuan, bahkan diantara para saksi dan korban dianggap gerombolan penyebar fitnah yang membuat korban harus dikeluarkan dari pondok hanya demi menormalisasi perilaku dan melindungi pelaku kekerasan.
Tidak berhenti sampai di situ, salah satu saksi dalam kasus kekerasan seksual Ploso Jombang juga menjadi korban pencurian HP dengan kekerasan oleh simpatisan terdakwa yang kasusnya telah diadili di PN Jombang. Sehingga terdakwa menjadi layak dan pantas dijatuhi pasal perkosaan dan kejahatan berlanjut.
Jika Penasihat Hukum terdakwa MSAT menganggap peradilan dan hukuman sosial telah selesai sebelum kasusnya ke pengadilan resmi, jauh sebelum itu stigma sosial terhadap para korban MSAT malahan lebih menyakitkan, bahkan mengundang dampak trauma psikologis seumur hidupnya.
Bayangkan saja, kasus sudah diproses hukum tapi Penasihat Hukum terdakwa masih sempatnya membangun opini publik yang terus menyerang harkat dan martabat perempuan. Bahkan mengasihani kliennya yang dianggap telah dihakimi atas modus-modus kekerasan yang diskenariokan oleh kliennya sendiri.
Apalah korban di hadapan relasi kuasa yang timpang selain kekuatan dalam diri perempuan yang memiliki keberanian untuk memutus siklus kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan berbasis pesantren.
Solidaritas dukungan terhadap korban merupakan gerakan natural yang mengkampanyekan tanggung jawab negara untuk hadir dan memastikan pemenuhan hak-hak perempuan di semua tahapan proses hukum. Penasihat Hukum terdakwa MSAT yang nota bene sebagai seorang politikus mencoba menarasikan asumsi politiknya menganggap gerakan aksi damai di PN Surabaya ditunggangi kepentingan politik.
Rupanya analisa PH Penasihat Hukum terdakwa tidak setajam semangatnya menstigma perempuan. Gerakan “aliansi kota santri lawan kekerasan seksual” yang hadir di PN Surabaya, bukan masa kiriman yang datang untuk aksi lalu bubar. Mereka yang hadir di PN Surabaya dan menggelar aksi damai adalah individu dan organ masyarakat yang membangun sinergitas layanan berbasis masyarakat dan layanan pemerintah mulai dari OPD Kabupaten/Provinsi hingga Menteri PPPA : Ibu Bintang Puspayoga.
Dampak baik dari sinergitas antar insituasi yang memiliki mandat penyelenggaraan layanan perempuan diopinikan sebagai kekuatan besar adalah benar. Yang salah adalah perspektif yang gagap memahami bagaimana era baru sinergitas layanan bagi perempuan korban kekerasan seksual.
Kehadiran LPSK, Komisi Yudisial, Kementrian PPPA yang memiliki mandat layanan rujukan akhir serta Kompolnas merupakan institusi yang terus berkonsolidasi dengan para pendamping korban termasuk yang menggelar aksi di PN Surabaya.
Sesungguhnya Kekuatan besar itu terletak pada kapasitas mental korban dan sinergitas dalam pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan seksual.
Relasi kemanusiaan yang kuat merupakan basis gerakan masyarakat sipil dalam membangun solidaritas dukungan bagi perempuan korban kekerasan. Hal ini diperkuat dengan hadirnya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang memandatkan bahwa pemantauan atas pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual dilaksanakan oleh menteri, komisi yang menangani kekerasan terhadap perempuan, hak asasi manusia, perlindungan anak, dan disabilitas, serta dilaksanakan oleh masyarakat.
Dengan demikian, dalam kasus MSAT ini Penasihat Hukum Terdakwa mempunyai tugas dan tanggungjawab secara profesional agar semua proses persidangan dapat berjalan secara fair dan terukur sesusai dengan KUHAP, meskipun secara profit harus berjibaku membela kliennya.
Jombang, 22 Agustus 2022