JOMBANG.TV– Malam turun perlahan di Gedung Kesenian Jombang (GKJ), Sabtu (2/8/2025). Namun, atmosfer di dalamnya justru menghangat.
Tiga malam berturut-turut, Jumat, Sabtu, dan Minggu (1-3 Agustus 2025), panggung utama GKJ berubah menjadi dunia yang penuh tanya dan teka-teki, lewat pementasan Darpana yang merupakan karya adaptasi Fandi Ahmad dari lakon maaf, maaf, maaf karya N. Riantiarno. Ini merupakan karya ke-44 dari Komunitas Teater Tombo Ati.
Sejak dimulai, penonton langsung digiring masuk ke dalam lanskap yang agung: latar menyerupai istana kerajaan, takhta megah yang bagian sandarannya menyerupai cermin dalam ukuran yang besar, dan kostum yang begitu detail menyerupai dunia pewayangan.
Nama-nama yang tak asing dari dunia epik muncul satu per satu: Dasamuka sang Kaisar Rahwana, Bandhem Prahasta, Rama, Shinta, Laksmana, Sarpanaka, hingga Wibisana.
Drama ini seperti membawakan kembali kisah klasik Ramayana. Hingga tiba-tiba, alur mengelupas satu per satu, mengungkap sesuatu yang jauh lebih dalam dan getir.
Dasamuka yang perkasa, rupanya bukan raja sesungguhnya. Ia adalah Ario. Seorang pensiunan tokoh masyarakat, yang dulu disegani, dipuja, dan menduduki posisi penting. Tapi waktu telah berjalan, dan Ario tak pernah benar-benar siap melepas segala kuasa dan kehormatan itu.
Di tengah sunyi masa pensiunnya, ia kehilangan arah dan mulai menciptakan dunianya sendiri. Dunia delusi.
Ia menjelma menjadi Dasamuka dalam pikirannya. Rumahnya disulap menjadi istana. Istrinya dipaksa memerankan Dewi Shinta, adiknya menjadi Sarpanaka.
Semua keluarga terperangkap dalam skenario besar ciptaannya. Ario tak lagi hidup di dunia nyata. Ia hidup dalam lakon agung ciptaan batinnya yang retak.
Dialog-dialog yang dilontarkan para tokoh terasa menggigit, sekaligus jenaka. Penonton dibuat tertawa, namun bukan tanpa getir.
Beberapa dialog menyelipkan sindiran halus kepada pemerintah dan penguasa, lalu tentang ketidakadilan, tentang lupa asal, dan tentang pemimpin yang lebih sibuk mencintai bayangannya sendiri daripada rakyatnya.
Penataan panggung begitu cermat: pencahayaan yang dinamis, setting latar yang terus berganti mengikuti suasana batin Ario dan detail artistik yang memperkuat kegilaan yang semakin menelan karakter utama.
Ada saat ketika seluruh panggung gelap kecuali satu sorot merah yang menyinari wajah Aryo, memperlihatkan betapa kuasa bisa melenyapkan jati diri.
Namun tak ada yang benar-benar siap pada bagian akhir.
Saat Ario, atau Dasamuka, akhirnya tak bisa lagi dikendalikan. Para anak dan keluarga yang selama ini menahan luka diam-diam, mengambil keputusan berat.
Mereka akhirnya memakaikan Ario baju rumah sakit jiwa dengan ukuran lengan cukup panjang dan siap menggantung tali-tali berwarna putih.
Satu per satu tali itu dililitkan ke tubuh Ario, mereka mengikatnya di tengah panggung. Ario berontak dan berteriak meminta tolong. Bukan pada rakyatnya, bukan pada tentaranya, tetapi pada Shinta dan Sarpanaka. Istri dan adik yang selama ini hanya bisa menurut demi damai keluarga dan satu-satunya yang Ario miliki hari ini, Kebanggaan dirinya.
Tangis keduanya pecah. Jerit Sarpanaka dan Shinta menggema, mereka terduduk dan bersimpuh tak kuasa menahan tangis pilu, melampaui sekat panggung, menampar kesadaran. Penonton banyak yang tercekat. Beberapa menutup mulut. Di tengah sorot lampu yang memutih, suasana hening tak terhindarkan.
Tak ada kematian. Tapi penonton tahu. Ada sesuatu yang mati malam itu. Itu adalah ego, delusi, dan kuasa yang tak sempat pamit.
Usai pentas, sang sutradara Imam Ghozali muncul.
“Darpana ini cermin. Kita semua bisa menjadi Ario dalam versi kecil. Saat tak siap kehilangan kuasa. Saat tak lagi tahu siapa diri kita sebenarnya. Pertanyaannya cuma satu, Sudikah kita bercermin?”
Sebagai karya ke-44 Komunitas Tombo Ati di usia mereka yang ke-29 tahun, Darpana bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah lintasan jiwa. Menyuguhkan tawa, luka, dan renungan.
Ruang GKJ yang selama ini hanya menjadi tempat pementasan, malam itu menjelma menjadi ruang batin yang rapuh, jujur, dan sangat manusiawi.
Dan Darpana, lebih dari sekadar lakon, adalah suara lirih yang mungkin selama ini kita kubur dalam diam. (FIT)
Komentar untuk post