JOMBANG.TV – Tadi malam (30/7/2025) GOR Merdeka tidak hanya disulap menjadi galeri sementara, tapi menjadi ruang batin yang hidup. Dimana warna, makna, dan harapan melebur jadi satu.
Udara dingin sedikit menusuk, namun mata tetap terjaga. Tak hanya memandang lukisan, tetapi juga membaca cerita, tentang cinta pada tanah kelahiran, tentang suara-suara sunyi yang akhirnya bersuara lewat kuas.
Di tengah riuh yang tetap tertib, Komunitas Pelukis Jombang (KOPI Jombang) merayakan usia ke-16 melalui gelaran “Membentang Ijo-Abang ke-10” dengan tema Metafora.
Metafora, sebuah kata yang seolah mengajak pengunjung untuk tak hanya menonton, tapi menafsirkan. Di balik setiap goresan, terselip tafsir tentang perjalanan, perubahan, dan perjumpaan antara seni dan kepemimpinan.
Salah satu yang turut menyulam suasana menjadi hangat adalah kehadiran Bupati Jombang, H. Warsubi atau yang lebih karib disapa Abah Warsubi.
Dengan didampingi para pemangku wilayah seperti Wakil Bupati, H. Salmanudin Yazid, Wakil Ketua DPRD, Gus Sentot, dan unsur Forkopimda. Bukan hanya raganya yang hadir, melainkan juga getar ketulusan dari seorang pemimpin yang menghargai denyut seni warganya.
Seni Bukan Hiasan, Tapi Nafas Kehidupan
“Metafora ini adalah bahasa harapan. Kami menyambut kepemimpinan baru, dengan doa dan warna. Semoga pintu-pintu tetap terbuka untuk kami,” ucap Eko Utomo, pembina KOPI Jombang, yang berdiri tak jauh dari panggung.
Dalam balasan yang hangat, Abah Warsubi tak menjawab dengan janji-janji besar, tapi dengan sorot mata dan tutur yang menggenggam.
“Terima kasih sudah konsisten dalam melukis Jombang, bukan hanya di kanvas, tapi di hati masyarakat. Kami ingin menjadi bagian dari perjalanan seni ini, bukan hanya penonton di pinggir jalan,” ungkapnya.
Tak ada meja kehormatan yang tinggi. Tak ada sekat yang memisahkan antara pejabat dan pelukis. Malam itu semua menyatu dalam satu ruang bernama apresiasi.
Di Kanvas Anak-anak, Masa Depan Mulai Diukir
Salah satu sorotan istimewa dari pameran ini adalah partisipasi para seniman muda. Dari tangan mungil anak-anak SD hingga goresan ekspresif pelajar SMA.
Dari proses seleksi yang ketat, terpilihlah 30 pelajar. Masing-masing 10 dari tingkat SD, SMP, dan SMA yang berkesempatan memamerkan karya terbaik mereka bersama dengan para pelukis senior.
Mereka tidak hanya diberi ruang, tapi juga diberi tempat yang setara. Diperlakukan bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai bagian penting dari denyut seni Jombang hari ini.
Kepada para perupa muda itu, Abah Warsubi memberikan pesan yang hangat dan mengakar, seperti seorang ayah berbicara kepada anak-anaknya.
“Teruslah menggambar. Dalam lukisan, ada keberanian, ada cerita, ada doa. Suatu hari nanti, kalian bukan hanya pelukis, tapi penjaga jiwa bangsa,” ungkapnya.
Sebuah pesan sederhana, namun mendalam. Ia meyakini bahwa masa depan Jombang harus dibangun tidak hanya lewat pembangunan fisik dan ekonomi, tapi juga melalui kekuatan karakter dan seni yang hidup.
Karena itu, pameran ini tak hanya menjadi ajang unjuk karya, tetapi juga menjadi ruang belajar dan tumbuh bagi generasi muda.
Lebih dari itu, pengunjung diberi kesempatan untuk memilih tiga lukisan favorit, menciptakan interaksi yang hangat antara publik dan para seniman muda.
“Sebagai generasi penerus bangsa, semoga kalian dapat berkontribusi baik kepada bangsa ini melalui bakat di bidangnya masing-masing,” ucap Warsubi seolah ingin menegaskan bahwa melukis pun adalah bentuk cinta tanah air.
Lukisan Ampas Kopi dan Batik: Ketika Media Tak Lagi Biasa
Pameran ini juga menjadi ajang lahirnya berbagai inovasi dalam seni rupa. Teknik yang digunakan sangat beragam, dari realis hingga abstrak.
Dari lukisan wajah Abah Bupati dalam balutan karikatur hingga media eksperimental seperti ampas kopi dan batik. Semuanya tampil tanpa malu.Bahkan lukisan wajah Abah Bupati muncul dalam gaya karikatural yang segar dan mengundang senyum.
Salah satu momen berkesan terjadi ketika seorang pelukis dari luar kota mempersembahkan langsung sebuah potret kontemporer kepada Abah Warsubi. Sebuah karya yang berhasil menarik perhatian banyak mata.
Dan seperti anak kecil yang antusias mendapat hadiah, Abah tak ragu menandatangani karya-karya itu. Sebuah tanda kecil, tapi menyiratkan penerimaan yang besar.
Seni, Sebuah Jalan Sunyi yang Kini Diberi Lampu
Di akhir acara, tak ada gong yang ditabuh atau panggung yang gegap. Tapi yang hadir adalah seutas tekad dari pemerintah daerah untuk menjadikan seni sebagai jalan strategis.
“Kami tak ingin seni sekadar jadi hiasan di dinding. Kami ingin ia jadi suluh, yang menerangi ekonomi kreatif, edukasi karakter, dan jati diri Jombang,” ujar Warsubi.
Apa yang digelar malam itu bukan hanya pameran. Tapi pertemuan antara generasi, antara gagasan, antara kuas dan kebijakan.
Di antara lampu-lampu GOR dan sorot kagum pengunjung malam itu, satu hal menjadi jelas. Bahwa Jombang sedang melukis bab baru.
Dengan warna yang lebih berani. Dengan tangan-tangan yang lebih banyak. Dan dengan pemimpin yang tak hanya melihat, tapi juga menghayati. (Fit)
Komentar untuk post