JOMBANG.TV — Siang itu, Sabtu (28/06/2025), terik matahari memantul di tanah kering Dusun Kedungdendeng, Jipurapah. Debu menempel di ujung sepatu Hj Yuliati Nugrahani, Ketua TP PKK Jombang, yang berdiri di samping sang suami, Bupati Jombang H Warsubi.
Mereka berdua menatap jalan tanah yang rusak parah, urat nadi warga yang bertahun-tahun menanti sentuhan perbaikan.
Di sela gerah dan sengatan mentari, Yuliati tidak sekadar berdiri diam. Tangannya ikut mendorong gerobak sorong berisi pasir, menyingkirkan batu-batu yang menghalangi jalur alat berat. Di mata warga, sosoknya bukan hanya istri bupati, tetapi rekan seperjuangan di garis depan.
“Kami, saya dan Abah Warsubi, membicarakan jalan keluar soal jalan Jipurapah ini. Diskusi sampai larut, dengan Gus Wabup, Pak Dandim, Satradar, Kapolres, Asisten 1, semua di Rumah Dinas Gus Wabup. Alhamdulillah, jalannya ketemu juga. Ada program karya bakti dari Kodim, ada anggaran Pemkab. Semua bergotong royong,” cerita Yuliati, sembari menyeka keringat yang menetes di dahinya.
Di sinilah wajah Yuliati dikenal warga, pendamping yang tak hanya ‘nampak’ di foto, tetapi nyata menjejak lumpur, menembus terik, membaur bersama rakyat.
Bagi Yuliati, peran perempuan bukan sekadar konco wingking yang berdiri di belakang.
Sejak Warsubi masih seorang kepala desa, ia sudah merajut peran: menggerakkan warga menanam sayur di pekarangan, memelihara ternak, mendirikan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Sederhana, tapi nyata menahan gejolak harga pangan, menumbuhkan swasembada di pekarangan sendiri.
Kini, di pundaknya tersemat tanggung jawab baru. Sebagai Ketua TP PKK sekaligus Bunda Literasi Kabupaten Jombang, Yuliati paham, pembangunan tidak cukup hanya di jalan dan gedung, tetapi juga di cara pikir.
Bunda Literasi yang Menyalakan Lentera
Bagi Yuliati, literasi bukan sekadar tumpukan buku di rak. Literasi adalah kebiasaan, budaya, bahkan keberanian membuka pikiran. Gerakan literasi yang ia nyalakan pun sederhana, dongeng sebelum tidur.
Baginya, di rumah yang terbiasa membaca, anak-anak belajar bermimpi. Dari cerita di bantal, terbit tekad menuntut ilmu lebih tinggi. “Dongeng itu pondasi. Membaca itu napas. Rumah yang hangat dengan cerita, akan menumbuhkan anak-anak yang gemar belajar,” ucapnya, saat sosialisasi program Posyandu di Kantor Kecamatan Kabuh, Senin (30/02/2025).
Kiprah Nyata, Jejak dari Desa untuk Jombang
Langkah Yuliati tak berhenti di literasi. Di Kabuh, kecamatan terluas di Jombang dengan 16 desa yang terpencar, Yuliati menanam ide, desa di Jombang bisa punya peta kuliner.
Ia percaya, tiap desa punya rasa sendiri. Dari nasi kikil di Mojosongo, pecel pincuk di Sumber, hingga sambelan pedas di Gumulan. Semua punya potensi mendatangkan rezeki.
Ia pun mengajak warga saling mendukung.
Snack hajatan? Beli dari tetangga sendiri. Souvenir kenduri? Pesan di UMKM sebelah rumah. Dengan cara itu, uang berputar di halaman rumah, rezeki tak cepat lari ke luar kampung.
“Dan jangan lupa, jangan buang sisa bahan pangan seenaknya. Acara kenduri sering sisa, lebih baik dibagikan ke panti asuhan atau yang lebih membutuhkan,” pesannya.
Semangat merawat lingkungan pun tak pernah lepas dari agendanya. Lewat dasawisma, ia mendampingi berdirinya bank sampah di pelosok kampung. Dana satu juta rupiah per dasawisma di era Warsubi-Salman, ia dorong untuk digulirkan, memupuk kebiasaan memilah sampah, mengolah limbah jadi berkah.
“Bank sampah itu bukan sekadar urusan botol plastik. Ini cara kita merawat bumi tetap layak dihuni cucu-cucu kita. Perubahan dimulai dari rumah sendiri,” tegasnya. Ia sendiri mencontohkan di setiap pertemuan—menenteng tumbler, menolak gelas plastik sekali pakai.
Di mata Camat Kabuh, Anjik Eko Saputro, kehadiran Yuliati lebih dari simbol seremoni. “Beliau mendampingi Abah Bupati tidak hanya di rapat, tapi turun ke lapangan, mendampingi warga, mendorong gerobak, menyingkirkan batu. Tidak semua orang mau,” katanya.
Menanam Benih Perubahan
Di antara terik matahari Kedungdendeng, hujan di jalan desa, atau lumpur di tepian ladang, senyum Yuliati tak pernah surut. Teduh, meneguhkan siapa pun yang melihatnya bahwa kerja nyata tak peduli panas atau hujan.
Ia merangkai jejak, menanam benih perubahan di sudut-sudut desa. Kelak, benih ini akan tumbuh, melahirkan ribuan perempuan yang sadar bahwa mereka bukan sekadar pendamping, tetapi penentu arah.
Karena di pundak perempuan seperti Yuliati, Jombang merawat harap, bahwa perubahan bisa berakar dari rumah, bertunas di desa, lalu mekar di seluruh kabupaten.
“Kalau hari ini kita mau turun tangan bersama, kelak anak cucu kita tinggal memetik hasilnya. Jombang ini milik kita, mari kita rawat dan bangun bersama-sama,” tutup Yuliati, menatap jalan desa yang perlahan berubah.
Komentar untuk post