JOMBANG.TV — Di halaman Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Mojoagung, Jombang, Senin (14/7/2025), anak-anak itu turun dari ambulans desa sambil merapat pada ibunya, menggenggam tas lusuh yang penuh mimpi.
Bukan pasien yang dibawa, melainkan harapan: anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem berkumpul di satu titik, saling bertukar senyum canggung, siap memulai hidup baru di sekolah yang akan mereka sebut rumah.
Bukan sekadar sekolah, tapi Sekolah Rakyat (SR), sebuah ruang belajar berasrama, gratis, dan jadi rumah bagi asa-asa yang lama redup. Di tangan mereka, tas-tas besar dijinjing. Bukan berisi obat-obatan, tapi pakaian sederhana, selimut, dan mimpi yang dulu hampir putus di jalan.
Samsul (53) melangkah paling dulu. Di sisinya, Ani (52), istrinya yang penyandang disabilitas, menggandeng dua anak perempuan mereka, Nisa (17) dan Jingga (13). Tak ada kursi roda mewah, hanya genggaman tangan dan doa.
“Alhamdulillah, sekolah ini gratis. Anak saya bisa sekolah lagi,” bisik Ani pelan, membenahi jilbab Nisa yang tampak canggung dengan keramaian pagi itu.
Ambulans Desa yang Membawa Mimpi
Pagi itu, ambulans desa bukan kendaraan duka. Tapi kendaraan harapan. Sumaningsih (56) berdiri di samping mobil ambulans yang baru saja menurunkannya.
Tangannya gemetar menuntun Dwi Afika (13), anak semata wayangnya. “Dulu saya pasrah. Makan saja susah, apalagi sekolah,” katanya, suaranya bergetar menahan haru.
Dulu, Dwi harus berhenti sekolah karena ibunya tak lagi kuat membayar iuran. Kini, ia berdiri di halaman SR, memeluk tas berisi baju ganti dan buku catatan baru. “Nanti kalau lulus mau kerja kantoran,” gumamnya pelan, mimpi sederhana yang jadi istimewa.
Kasur Belum Bersprei, Tapi Harapan Sudah Terbentang
Di bangunan semi permanen itu, Andik Minarto, Kepala SR, tampak sibuk menata kasur-kasur baru. Beberapa masih polos, sprei belum tiba. Tapi wajah para guru justru sumringah.
“Hari ini bukan cuma pembukaan sekolah. Ini pembukaan masa depan,” kata Andik, sambil mengelap keringat di pelipis.
Total ada 100 anak, 50 SMP, 50 SMA. Mereka ditangani 18 guru, dibantu wali asrama, operator, juru masak, hingga satpam yang berjaga. Semua tahu, pekerjaan mereka bukan sekadar menggaji diri sendiri, tapi menumbuhkan mimpi di tanah yang lama gersang oleh kemiskinan.
“Kurikulumnya sama seperti sekolah reguler. Bedanya, anak-anak tinggal di sini, kami bentuk karakternya, kami rawat. Semuanya gratis. Tidak ada pungutan sepeser pun,” jelas Andik, mantan Waka Kurikulum SMKN 3 Jombang.
Seragam Baru, Harga Diri yang Kembali
Seragam belum datang semua. Beberapa siswa datang dengan baju seadanya. Tapi momen paling menohok justru terjadi di bawah tenda sederhana di halaman SR.
Purwanto, Asisten I Setdakab Jombang, berdiri mendampingi seorang anak laki-laki kurus. Tangannya membantu memasangkan kemeja putih ke tubuh kecil itu. Di belakangnya, orang tua siswa menahan air mata.
Baju putih itu mungkin tipis. Tapi bagi anak itu dan 99 temannya yang lain, seragam ini berarti: Negara masih ada. Bahwa di balik gedung-gedung mewah di kota, masih ada pemerintah yang mau melihat anak-anak desa punya seragam baru, buku baru, dan harapan yang tak lagi diusir kemiskinan.
Sekolah Rakyat: Tentang Keadilan, Bukan Sekadar Amal
Malam nanti, anak-anak itu tidak pulang. Mereka akan tinggal di asrama, berbagi cerita, saling mengenal. Ada kegiatan keagamaan, ada doa bersama, ada guru yang menenangkan tangis anak-anak yang kangen rumah. Pelan-pelan, mereka belajar bahwa di dunia ini, mereka tak sendiri.
Sekolah Rakyat bukan proyek belas kasihan. Ia lahir dari keyakinan bahwa pendidikan adalah hak, bukan hadiah bagi yang mampu bayar. Di Jombang, di lapangan berdebu itu, kasur-kasur tanpa sprei jadi saksi. Bahwa mimpi boleh sederhana, tapi perjuangan untuk mewujudkannya harus luar biasa. (Fit)
Komentar untuk post